Thursday, March 14, 2013

Makalah Epistemologi



A.    Pengertian Epistemologi
Secara etimologi, kata “epistemology” berasal dari bahsa yunani “episteme” dan “logos”. “Episteme” berarti pengetahuan dan “logos” berarti perkataan, ilmu, pikiran, teori, uraian atau alasan[1]. Episteme dalam bahasa yunani berasal dari kata kerja “epistamai”, artinya mendudukan, menempatkan atau meletakkan. Maka, harfiyah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya. Selain kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam bahasa yunani juga dipakai kata “gnosis”, maka istilah “epistemology” dalam sejarah juga pernah dipakai kata “gnoseologi”. Sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar- dasar teoritis pengetahuan, epistemology kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge)[2].
Secara terminology, P. Hardono hadi menyatakan bahwa epistemlogi adalah cabang filasat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaiannya dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Kemudian menurut D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemology sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkanya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.[3]
Inti dari pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup membedakan adalah pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat pengetahuan, sedang pengertian yang kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan, sedangkan hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya . pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan yaitu realisme dan idealisme.[4]
Selanjutnya, pengertian epistemology yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D. Runes. Dia menyatakan  bahwa epistemology adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode an validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemology sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relative lebih mudah dipahami.[5]
Epistemology pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional utuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri lingkungan sosial dan alam sekitarnya . maka epistemology adalah suatu disiplin yang bersifat evaluaitf, normative dan kritis. Evalutif berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normative berarti menentukan norma atau tolok ukur dan dalam hal ini tolak ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistemology sebagai cabanng ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi tetapi perlu membuat penentuan mana yang betul dan mana yang salah berdasarkan norma empiric. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui. Yang dipertanyakan adalah baik asumsi-asumsi cara kerja atau pendekatan yang diambil maupun kesimpulan yang ditarik dalam berbagai kegiatan kognitif manusia.[6]
B.     Ruang Lingkup Epistemlogi
Bertolak dari pengertian-pengertian tersebut, kiranya kita perlu memerinci aspek-aspek yang menjadi cakupannya dan ruang lingkupnya. Sebenarnya masing-masing definisi di atas telah memberi pemahaman tentang ruang lingkup epistemology sekaligus, karena definisi-definisi itu tampaknya lebih didasarkan pada rincian aspek-aspek yang tercakup dalam lingkup epistemology dari pada aspek-aspek lainnya, seperti proses maupun tujuan. Akan tetapi, ada baiknya dikemukakan pernyataan-pernyataan lain yang mencoba menguraikan ruang lingkup epistemology, sebab pernyataan-pernyataan ini akan membantu pemahaman secara makin komprehensif dan utuh mengenai ruang lingkup pembahasan epistemology.[7]
M. Arifin merinci ruang lingkup epistemology, meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudllor Achmad merinci menjadi enam aspek yaitu hakikat, unsure, macam, tumpuan, batas dan sasaran pengetahuan.  Bahkan A.M. Saefuddin menyebutkan bahwa epistemology mencakup pertanyaan yang harus dijawab; apakah ilmu itu; dari mana asalnya; apa sumbernya; apa hakikatnya; bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar; apa kebenaran itu; mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui dan sampai di manakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok yakni masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.[8]
Mengingat epistemology mencakup aspek yang begitu luas, sampai Gallagher secara ekstrim menarik kesimpulan bahwa epistemology sama luasnya dengan filsafat. Dalam pembahasan-pembahasan epistemology, Paul Suparno menilai epistemology banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemology. M. Amin Abdullah menilai bahwa seringkali kajian epistemology lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis.[9]
Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan wilayah pembahasan epistemology itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemology sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontology dan aksiologi secara sistemik, seseorang cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga memakai epistemology sebagai metode pemikiran, ontology sebagai objek pemikiran, sedang aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negative. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan pembahasan epistemology. Akan tetapi, penyederhanaan makna epistemology itu berfungsi memudahkan pemahaman seseorang, terutama pada tahap pemula ntuk menggali sistematika filsafat, khususnya bidang epistemology.[10]
C.     Objek dan Tujuan Epistemology
Objek epistemology menurut Jujun S. Suriasumantri yakni berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan”. Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadisasaran ilmu pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.[11]
Selanjutnya mengenai tujuan epistemology, Jacques Martain mengatakan, “tujuan epistemology bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa tjuan epistemology bukan untk memperoleh penngetahuan kendatipun keadaan ini tidak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemology adalah lebih penting dari itu yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.[12]
D.    Macam-macam Epistemology[13]
Berdasarkan metode pendekatan yang diambil terhadap gejala pengetahuan epistemology dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1.      Epistemology metafisis
Epistemology metafisis dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Misalnya tentang keyakinan plato meyakini tentang bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunia ide-ide, sedangkan kenyataan sebagaimana kita alami adalah kenyataan yang fana dan gambaran kabur saja dari kenyataan dalam dunia ide-ide.
2.      Epistemology skeptic
Epistemology skeptic pernah dikerjakan oleh decrates, kita perlu membuktikan dulu apa yang dapat kita ketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan mennganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan.
3.      Epistemology kritis
Epistemology kritis tidak memprioritaskan metafisika atau epistemology tertentu, melainkan berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam kehidupan, lalu kita coba tanggapi secara kritis asumsi, prosedur dan kesimpulan tersebut.
Sedangkan berdasarkan titik tolak pendekatannya secara umum epistemology dapat dibagi menjadi dua :
1.      Epistemology individual
Dalam epistemology individual dibahas mengenai kajian tentang bagaimana struktur pikiran manusia sebagai individu bekerja dalam proses mengetahui.
2.      Epistemology sosial
Epistemology sosial adalah kajian filosofis tentang pengetahuan sebagai data sosiologis. Sehingga dalam hal ini hubungan sosial, kepentingan sosial dan lembaga sosial dipandang sebagai factor – factor yang amat menentukan dalam proses, cara maupun perolehan pengetahuan.
E.     Manfaat Mempelajari Epistemology[14]
A.M.W. Pranaka mengemukakan bahwa ada tiga alasan mengapa epistemology perlu dipelajari, yakni :
1.      Berdasarkan pertimbangan strategis, kajian epistemology perlu karena pengetahuan sendiri merupakan hal yang secara strategis penting bagi hidup manusia.
2.      Berdasarkan pertimbangan kebudayaan, penjelasan yang pokok adalah kenyataan bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsure dasar kebudayaan. Itu disebabkan berkat pengetahuannya manusia dapat mengolah dan mendayagunakan alam lingkungannya.
3.      Berdasarkan pertimbangan pendidikan, epistemology perlu dipelajari karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membant peserta didik mengembangkan pandangan hidup , sikap hidup dan ketrampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan.

F.      Pengaruh Epistemology[15]
Bagi Karl R. Popper, epistemology adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemology berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Dengan demikian epistemology dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah. Akhirnya, epistemology bisa menentukan cara kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya terandalkan.
Epistemology juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Penguasaan epistemology, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan sangat membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun dirinya sendiri. Ini menunjukkan bahwa epistemology bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemology senantiasa mendorong dinamika berfikir secara korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relative mudah dicapai, bila para ilmuan memperkuat penguasaannya.
Secara global epistemology berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuan. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan tekhnologi. 
G.    Sekilas Tentang Metode Epistemology Pendidikan Islam[16]
Metode epistemology pendidikan islam ini adalah metode-metode dalam epistemology pendidikan islam atau metode-metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tentang pendidikan islam. Metode epistemology pendidikan islam akan diupayakan sedapat mungkin memiliki sandaran teologis, inspirasi pesan-pesan islam atau pengalaman para ilmuan muslim. Dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat al-qur’an, hadits nabi dan penalaran sendiri. Untuk sementara didapatkan lima macam metode yang secara efektif untu membangun pengetahuan tentang pendidikan islam, yaitu :
1.   Metode rasional (manhaj ‘aqli)
2.   Metode intuitif (manhaj zawqi)
3.   Metode dialogis (manhaj jadali)
4.   Metode komparatif (manhaj muqarani)
5.   Metode kritik (manhaj naqdi)
Masing-masing metode ini memiliki cara kerja atau mekanisme kerja yang berbeda-beda dalam memperoleh pengetahuan tentang pendidikan. Perbedaan mekanisme kerja ini sebagai khazanah teknis yang harus dipertahankan.
Adapun mengenai pembahasan lebih lanjut mengenai kelima metode di atas dapat dikaji pada pertemuan berikutnya.


[1] Aziz, Abd. 2006. Filsafat pendidikan islam
[2] Ahmad. 2006. Pengantar epistemology.
[3] Qomar, Mujamil. 2005. Epistemology Pendidikan Islam
[4] Idem
[5] Ahmad. 2006. Pengantar epistemology.
[6] Qomar, Mujamil. 2005. Epistemology Pendidikan Islam
[7] Qomar, Mujamil. 2005. Epistemology Pendidikan Islam
[8] Idem
[9] Idem
[10] Idem
[11] Qomar, Mujamil. 2005. Epistemology Pendidikan Islam
[12] Idem
[13] Aziz, Abd. 2006. Filsafat pendidikan islam
[14] Ahmad. 2006. Pengantar epistemology.
[15] Qomar, Mujamil. 2005. Epistemology Pendidikan Islam
[16] Idem