A. Pengertian
Epistemologi
Secara
etimologi, kata “epistemology” berasal dari bahsa yunani “episteme” dan
“logos”. “Episteme” berarti pengetahuan dan “logos” berarti perkataan, ilmu,
pikiran, teori, uraian atau alasan[1].
Episteme dalam bahasa yunani berasal dari kata kerja “epistamai”, artinya
mendudukan, menempatkan atau meletakkan. Maka, harfiyah episteme berarti
pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan
setepatnya. Selain kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam bahasa
yunani juga dipakai kata “gnosis”, maka istilah “epistemology” dalam sejarah
juga pernah dipakai kata “gnoseologi”. Sebagai kajian filosofis yang membuat
telaah kritis dan analitis tentang dasar- dasar teoritis pengetahuan,
epistemology kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge)[2].
Secara
terminology, P. Hardono hadi menyatakan bahwa epistemlogi adalah cabang filasat
yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaiannya
dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki. Kemudian menurut D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemology sebagai
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar
dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkanya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.[3]
Inti
dari pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang
cukup membedakan adalah pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat
pengetahuan, sedang pengertian yang kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat
pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat
yang asli dari pengetahuan, sedangkan hakikat pengetahuan berkaitan dengan
ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya . pembahasan
hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan
yaitu realisme dan idealisme.[4]
Selanjutnya,
pengertian epistemology yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut,
diungkapkan oleh Dagobert D. Runes. Dia menyatakan bahwa epistemology adalah cabang filsafat
yang membahas sumber, struktur, metode-metode an validitas pengetahuan.
Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemology sebagai “ilmu
yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu
pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut,
tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relative lebih
mudah dipahami.[5]
Epistemology
pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional utuk menimbang dan menentukan
nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri lingkungan
sosial dan alam sekitarnya . maka epistemology adalah suatu disiplin yang
bersifat evaluaitf, normative dan kritis. Evalutif berarti bersifat menilai, ia
menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan
dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya atau memiliki dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan secara nalar. Normative berarti menentukan norma atau
tolok ukur dan dalam hal ini tolak ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan.
Epistemology sebagai cabanng ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau
paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi tetapi perlu
membuat penentuan mana yang betul dan mana yang salah berdasarkan norma
empiric. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran
cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui. Yang dipertanyakan adalah baik
asumsi-asumsi cara kerja atau pendekatan yang diambil maupun kesimpulan yang
ditarik dalam berbagai kegiatan kognitif manusia.[6]
B. Ruang
Lingkup Epistemlogi
Bertolak
dari pengertian-pengertian tersebut, kiranya kita perlu memerinci aspek-aspek
yang menjadi cakupannya dan ruang lingkupnya. Sebenarnya masing-masing definisi
di atas telah memberi pemahaman tentang ruang lingkup epistemology sekaligus,
karena definisi-definisi itu tampaknya lebih didasarkan pada rincian
aspek-aspek yang tercakup dalam lingkup epistemology dari pada aspek-aspek
lainnya, seperti proses maupun tujuan. Akan tetapi, ada baiknya dikemukakan
pernyataan-pernyataan lain yang mencoba menguraikan ruang lingkup epistemology,
sebab pernyataan-pernyataan ini akan membantu pemahaman secara makin
komprehensif dan utuh mengenai ruang lingkup pembahasan epistemology.[7]
M.
Arifin merinci ruang lingkup epistemology, meliputi hakikat, sumber dan validitas
pengetahuan. Mudllor Achmad merinci menjadi enam aspek yaitu hakikat, unsure,
macam, tumpuan, batas dan sasaran pengetahuan.
Bahkan A.M. Saefuddin menyebutkan bahwa epistemology mencakup pertanyaan
yang harus dijawab; apakah ilmu itu; dari mana asalnya; apa sumbernya; apa
hakikatnya; bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar; apa kebenaran itu;
mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui dan
sampai di manakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah
pokok yakni masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.[8]
Mengingat
epistemology mencakup aspek yang begitu luas, sampai Gallagher secara ekstrim
menarik kesimpulan bahwa epistemology sama luasnya dengan filsafat. Dalam
pembahasan-pembahasan epistemology, Paul Suparno menilai epistemology banyak
membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu,
aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemology. M. Amin Abdullah
menilai bahwa seringkali kajian epistemology lebih banyak terbatas pada dataran
konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis.[9]
Kecenderungan
sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan wilayah pembahasan
epistemology itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan
epistemology sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi
ketika dikaitkan dengan ontology dan aksiologi secara sistemik, seseorang
cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga memakai epistemology sebagai
metode pemikiran, ontology sebagai objek pemikiran, sedang aksiologi sebagai
hasil pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak
positif maupun negative. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah
satu bagian dari cakupan pembahasan epistemology. Akan tetapi, penyederhanaan
makna epistemology itu berfungsi memudahkan pemahaman seseorang, terutama pada
tahap pemula ntuk menggali sistematika filsafat, khususnya bidang epistemology.[10]
C. Objek
dan Tujuan Epistemology
Objek
epistemology menurut Jujun S. Suriasumantri yakni berupa “segenap proses yang
terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan”. Proses untuk
memperoleh pengetahuan inilah yang menjadisasaran ilmu pengetahuan dan
sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu
merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan.
Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu
tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.[11]
Selanjutnya
mengenai tujuan epistemology, Jacques Martain mengatakan, “tujuan epistemology
bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu,
tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal
ini menunjukkan, bahwa tjuan epistemology bukan untk memperoleh penngetahuan
kendatipun keadaan ini tidak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian dari tujuan epistemology adalah lebih penting dari itu yaitu ingin
memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.[12]
D. Macam-macam
Epistemology[13]
Berdasarkan
metode pendekatan yang diambil terhadap gejala pengetahuan epistemology dapat
dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Epistemology
metafisis
Epistemology
metafisis dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang
bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Misalnya tentang keyakinan
plato meyakini tentang bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunia
ide-ide, sedangkan kenyataan sebagaimana kita alami adalah kenyataan yang fana
dan gambaran kabur saja dari kenyataan dalam dunia ide-ide.
2. Epistemology
skeptic
Epistemology
skeptic pernah dikerjakan oleh decrates, kita perlu membuktikan dulu apa yang
dapat kita ketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan
lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau benar-benar tak dapat diragukan
lagi dengan mennganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang
kebenarannya masih dapat diragukan.
3. Epistemology
kritis
Epistemology
kritis tidak memprioritaskan metafisika atau epistemology tertentu, melainkan
berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun
asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam
kehidupan, lalu kita coba tanggapi secara kritis asumsi, prosedur dan
kesimpulan tersebut.
Sedangkan
berdasarkan titik tolak pendekatannya secara umum epistemology dapat dibagi
menjadi dua :
1. Epistemology
individual
Dalam
epistemology individual dibahas mengenai kajian tentang bagaimana struktur
pikiran manusia sebagai individu bekerja dalam proses mengetahui.
2. Epistemology
sosial
Epistemology
sosial adalah kajian filosofis tentang pengetahuan sebagai data sosiologis. Sehingga
dalam hal ini hubungan sosial, kepentingan sosial dan lembaga sosial dipandang
sebagai factor – factor yang amat menentukan dalam proses, cara maupun
perolehan pengetahuan.
E. Manfaat
Mempelajari Epistemology[14]
A.M.W.
Pranaka mengemukakan bahwa ada tiga alasan mengapa epistemology perlu
dipelajari, yakni :
1. Berdasarkan
pertimbangan strategis, kajian epistemology perlu karena pengetahuan sendiri
merupakan hal yang secara strategis penting bagi hidup manusia.
2. Berdasarkan
pertimbangan kebudayaan, penjelasan yang pokok adalah kenyataan bahwa
pengetahuan merupakan salah satu unsure dasar kebudayaan. Itu disebabkan berkat
pengetahuannya manusia dapat mengolah dan mendayagunakan alam lingkungannya.
3. Berdasarkan
pertimbangan pendidikan, epistemology perlu dipelajari karena manfaatnya untuk
bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membant peserta didik
mengembangkan pandangan hidup , sikap hidup dan ketrampilan hidup, tidak dapat
lepas dari penguasaan pengetahuan.
F. Pengaruh
Epistemology[15]
Bagi
Karl R. Popper, epistemology adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori
pengetahuan ilmiah, epistemology berfungsi dan bertugas menganalisis secara
kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Dengan
demikian epistemology dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya
pengetahuan ilmiah. Akhirnya, epistemology bisa menentukan cara kerja ilmiah
yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya
terandalkan.
Epistemology
juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori
yang ada. Penguasaan epistemology, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan
sangat membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis terhadap bangunan
pemikiran yang diajukan orang lain maupun dirinya sendiri. Ini menunjukkan
bahwa epistemology bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang
lain (kritik eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal).
Implikasinya, epistemology senantiasa mendorong dinamika berfikir secara
korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relative mudah
dicapai, bila para ilmuan memperkuat penguasaannya.
Secara
global epistemology berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban
sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuan. Epistemologilah yang menentukan
kemajuan sains dan tekhnologi.
G. Sekilas
Tentang Metode Epistemology Pendidikan Islam[16]
Metode
epistemology pendidikan islam ini adalah metode-metode dalam epistemology
pendidikan islam atau metode-metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
tentang pendidikan islam. Metode epistemology pendidikan islam akan diupayakan
sedapat mungkin memiliki sandaran teologis, inspirasi pesan-pesan islam atau
pengalaman para ilmuan muslim. Dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat
al-qur’an, hadits nabi dan penalaran sendiri. Untuk sementara didapatkan lima
macam metode yang secara efektif untu membangun pengetahuan tentang pendidikan
islam, yaitu :
1. Metode
rasional (manhaj ‘aqli)
2. Metode
intuitif (manhaj zawqi)
3. Metode
dialogis (manhaj jadali)
4. Metode
komparatif (manhaj muqarani)
5. Metode
kritik (manhaj naqdi)
Masing-masing
metode ini memiliki cara kerja atau mekanisme kerja yang berbeda-beda dalam
memperoleh pengetahuan tentang pendidikan. Perbedaan mekanisme kerja ini
sebagai khazanah teknis yang harus dipertahankan.
Adapun mengenai
pembahasan lebih lanjut mengenai kelima metode di atas dapat dikaji pada
pertemuan berikutnya.
[1] Aziz, Abd. 2006. Filsafat pendidikan islam
[2] Ahmad. 2006. Pengantar epistemology.
[3] Qomar, Mujamil. 2005. Epistemology Pendidikan Islam
[4] Idem
[5] Ahmad. 2006. Pengantar
epistemology.
[6] Qomar, Mujamil. 2005. Epistemology Pendidikan Islam
[7] Qomar, Mujamil. 2005. Epistemology Pendidikan Islam
[8] Idem
[9] Idem
[10] Idem
[11] Qomar, Mujamil. 2005. Epistemology
Pendidikan Islam
[12] Idem
[13] Aziz, Abd. 2006. Filsafat pendidikan islam
[14] Ahmad. 2006. Pengantar epistemology.
[15] Qomar, Mujamil. 2005. Epistemology Pendidikan Islam
[16] Idem